All hands,
Hubungan Indonesia-Australia seringkali memasuki hubungan yang surut, di
mana faktor penyebabnya adalah sejumlah isu sensitif di Indonesia. Di
masa lalu, isu sensitif itu adalah soal kekayaan penguasa Indonesia
waktu itu, masalah Timor Timur dan Irian Jaya. Sedangkan di masa kini,
isu sensitif adalah masalah Papua. Pertanyaannya, mengapa semua itu
terjadi?
Jawabannya adalah karena pendekatan berbeda yang dilakukan oleh kedua
negara dalam membahas isu sensitif di Indonesia. Ketika Jakarta berdebat
keras dengan Canberra dalam urusan dagang seperti impor sapi dan daging
sapi, baik Indonesia maupun Australia masih dapat berbicara dalam
frekuensi yang sama. Frekuensi yang digunakan oleh keduanya adalah otak,
sehingga selalu tersedia jalan keluar yang menguntungkan kedua belah
pihak. Akan tetapi saat kedua negara bersitegang dalam urusan Timor
Timur di masa lalu dan isu Papua di masa kini, kedua ibukota selalu
berbicara dalam frekuensi yang berbeda.
Australia menggunakan frekuensi otak dalam membahas isu itu, sementara
Jakarta memakai frekuensi hati. Yang terjadi kemudian adalah kebuntuan
karena kedua frekuensi mustahil untuk dapat bertemu. Pertanyaan
selanjutnya, lalu bagaimana untuk menghadapi kebuntuan ini?
Satu-satunya cara adalah Jakarta harus mengubah frekuensinya dari hati
ke otak, sebab Australia menganut kultur Barat. Sebagaimana diketahui,
masyarakat Barat senantiasa berbicara dengan otak alias rasio, bukan
dengan hati. Kalau dalam urusan dagang Jakarta bisa berbicara
menggunakan frekuensi otak dengan Australia, mengapa dalam urusan
politik keamanan Indonesia tak bisa?
Selama ini sebagian pihak di negeri Indonesia dengan bangganya menganut
semboyan NKRI Harga Mati. Tetapi ketika ingin mengimplementasikan
semboyan itu menjadi suatu hal yang operasional, cara-cara yang
digunakan seringkali hanya repetisi alias pengulangan cara yang
digunakan di masa lalu yang terbukti gagal. Nampaknya tidak pernah ada
upaya untuk lesson learned dari pengalaman buruk di masa lalu mengapai Indonesia gagal dalam mengimplementasikan semboyan itu.
Australia dan Indonesia ditakdirkan untuk bertetangga. Oleh karena itu,
Indonesia senantiasa harus mengadakan "perenungan mendalam" dalam
hubungan kedua negara, termasuk hal-hal yang kedua negara seringkali
bertengkar alias tak sepakat. Jakarta harus mampu melaksanakan
introspeksi terhadap langkah-langkah diplomatik yang telah ditempuh
selama puluhan tahun dalam hal-hal yang sensitif dengan Australia.
Selain itu, juga perlu dipertanyakan apakah kondisi di dalam negeri
sudah selaras untuk mendukung diplomasi?
Selama Indonesia bertumpu pada frekuensi hati dalam urusan politik
keamanan dengan Australia, selama itu pula selalu terbuka lebar untuk
surutnya kembali hubungan kedua negara.