Popular Posts

☆ Soeharto Incognito di Bosnia

Inilah lawatan Presiden Suharto ke luar negeri yang paling mendebarkan, setelah ia menjadi presiden selama 25 tahun. Bosnia Herzegovina - siapa yang tak ngeri mendengar nama itu sekarang. Pemilik restoran Italia di kota mahal Kopenhagen, dan sopir taksi Thorsboe di Denmark yang saya temui, ketika mengetahui Presiden Indonesia setelah dari acara KTT Pembangunan Sosial akan pergi ke Sarajevo, rata-rata mereka berkata, “Is he crazy?!!”

Para wartawan Indonesia yang mengikuti rombongan Pak Harto pun, setelah melihat gelagat makin tak jelasnya kondisi di medan pertempuran Sarajevo, berani bertaruh uang (tak banyak hanya Rp 5000,- seorang). Ada yang berkeyakinan Presiden tak jadi pergi ke sana, namun sebagian mengatakan,

“Pasti Pak Harto nekat!”

Dan ternyata benar. Nekatnya Pak Harto tetap bersikeras berkunjung ke Sarajevo, bukan saja mencengangkan rakyat Indonesia di tanah air, tetapi juga membuat gemas para pengawalnya yang mendampingi selama perjalanan. Mayjen TNI Pranowo sesmil (sekretaris militer) Presiden, misalnya. Sampai di Kroasipun masih tak enak makan.

“Pikiran saya selalu tertuju pada keselamatan Pak Harto,” ujarnya suatu malam, ketika bersama saya bersantap malam sebelum acara ke Bosnia dilaksanakan.

Begitu pula para ajudan dan pengawal pribadi. Semua was-was, antara pikiran jadi berangkat atau tidak. Apalagi, sehari sebelum Pak Harto berangkat, pesawat utusan khusus Sekjen PBB, Yasushi Akashi, sempat diusik tembakan oleh gerilya Serbia.

“Bayangkan, bagaimana kita tidak ngeri. Jaminan untuk Presiden kita apa dong, sedangkan Akashi saja diganggu ke Bosnia,” ujar seorang sumber dengan nada was-was.

Bahkan, Presiden Turki maupun Paus, tak sempat singgah karena sudah akan diterkam Serbia. Selama ini, baru Presiden Perancis dan Benazir Bhuto yang berhasil menginjak tempat itu.

Lain penampilan para pendamping pak Harto (antara lain Menlu Ali Alatas, Mensesneg Moerdiono, diplomat senior Nana Sutresna, para pengawal dan dokter pribadi), lain pula penampilan Kepala Negara RI ini. Sampai sehari menjelang keberangkatan ke Bosniapun, Pak Harto tetap berpenampilan tenang mengikuti acara di gedung parlemen Kroasia. Di ruangan yang sangat cantik dengan hamparan karpet Persia berwarna marun itulah Pak Harto dengan lancar menjelaskan kepada Ketua Parlemen Korasia, Nedjeljko Mihanovic dan seluruh stafnya, tentang sistem pemerintahan di Indonesia. Dalam acara santap malampun, tak nampak beban sama sekali pada raut muka Pak Harto. Ia banyak senyum sambil menikmati hidangannya yang disajikan oleh Perdana Menteri Kroasaia dan nyonya, Nikica Valentic di Istana Dvetce.

Senin tanggal 13 Maret pagi, Pak Harto masih sempat mengadakan pembicaraan empat mata dengan Franjo Tudman, Presiden Kroasia Sementara itu pada saat yang sama, di ruang lain, Ibu Tien diterima oleh istri Tudman sembari tukar menukar tanda mata - perak Jogyakarta untuk si nyonya rumah, dan sulaman Kroasia untuk si tamu.

Pembicaraan paralel lain dilakukan antara para pejabat Indonesia dan pejabat Kroasia, termasuk Pangab Faisal Tanjung. Dalam acara itu, berkali-kali Presiden Kroasia maupun Perdana Menterinya menyatakan terima kasih dan penghargaannya karena Pak Harto dan rombongan mau mengunjungi Kroasia dan apalagi.. Bosnia! PM Kroasia pada bulan Januari yang lalu memang sempat menyampaikan undangan ini saat ia berkunjung ke Jakarta.

Kepala Protokol Istana Basyuni dan Dirjen Protokol Konsuler Irsan dengan tertib tetap menunggu di luar ruangan istana, sembari menghitung, menerka, apakah keberangkatan tetap akan dilangsungkan atau tidak. Menjelang pukul 10.30 belum ada tanda-tanda pembatalan keberangkatan ke Bosnia, tetapi juga belum ada kata ‘okey’ - dan ini amat sangat membuat rombongan semakin was-was.

Sementara itu, di bandara Internasional Zagreb telah menunggu pesawat buatan Rusia jenis JAK-40 dengan nomor penerbangan RA 81439. Pesawat kecil berkapasitas 24 kursi inilah yang dipersiapkan untuk mengangkut ‘kenekatan’ Suharto, tanggal 13 Maret itu. Setelah pembicaraan di Istana usai sekitar pukul 10.30, rombongan menuju ke lapangan udara. Di sinilah ketegangan mulai muncul. Ali Alatas tampak putih bagaikan kapas! Moerdiono menyipitkan matanya. Boleh saja mereka, ketika ditanya bagaimana perasaannya saat berangkat, menjawab.

“Biasa-biasa saja”

Namun lain pula kenyataannya. toh mereka pucat pasi! Termasuk dua wartawan yang ikut dalam pesawat tersebut, teman-teman saya dari Kantor Berita Antara dan RRI. Semula wartawan akan diberangkatkan lebih dahulu dengan pesawat lain, sebanyak lima orang. Namun karena keadaan gawat, pesawat dihentikan , menurut salah satu tentara Indonesia yang tergabung dalam UNPROFOR.

Angin kencang di tengah lapangan udara di awal minggu itu, dengan udara menggigit dingin (siang itu 8 derajat Celcius), menambah ketegangan. Pintu pesawat dari buntut terbuka. Para wartawan yang mengerumuni tangga tempat Presiden akan naik, ramai-ramai berseru,

“Selamat jalan Pak! Hati-hati bapak-bapak yang lain!!
Mereka menyambut tanpa senyum. Ketegangan di wajah Pak Harto mulai terasa. Berselimut mantel hitam pekat, rasanya ia tengah memendam segala perasaannya sekuat tenaga. Satu menit berlalu, rombongan segera menaiki pesawat. Pilot yang bertugas saat itu bernama Vononine Augueni. Anggota UNPROFOR membagikan lembaran kertas putih yang sudah dicetak dengan pernyataan bahwa PBB tidak bertanggungjawab sama sekali atas keselamatan penumpang selama perjalanan.
Menurut sumber, Pak Harto saat itu tak perdul lagi dengan isi pernyataan itu.
“Dia main tandatangan saja lho!”, ujarnya.

Seorang wanita petugas PBB dan 14 orang Indonesia memenuhi pesawat kecil itu. Saidi, fotografer kesayangan Pak Harto tak luput dari tugasnya. Dialah yang kelak akan merekam dengan jurus kameranya.

Pak Harto duduk paling depan, berhadapan dengan Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden kolonel inf Sjafrie Sjamsoedin yang memang sudah berwajah tegang dari awal pagi. Sementara itu para pengantar di bawah tetap memandangi pesawat dengan perasaan seakan-akan baru saja mengantar para tentara yang akan berjuang dan harus menang.

Pesawat buatan Rusia itu lepas landas pukul 11.10, dan tiba di Sarajevo pukul 12.36.
“Selama di awan, kami sudah pasrah kok, ” ujar Moerdiono.

Lalu, mengawali perjalanan Pak Harto mengikuti instruksi memakai baju anti peluru.
“Sebab, seandainya pesawat ditembak dari luar, minimal penumpangnya tidak apa-apa,” kata Pranowo.

Tetapi ketika turun dari pesawat, Presiden mulai ‘membandel’ lagi. Dia lepas baju anti pelurunya, bahkan semalam sebelumnya ketika seseorang berusaha membujuk Pak Harto untuk tidak jadi berangkat, ia menjawab,
“Ah.., saya yakin kalau niat kita baik, Insya Allah hasilnya juga baik,” katanya.

Pagar betis sebanyak 40 anggota pasukan perlindungan PBB UNPROFOR menyerbu memagari Pak Harto Akashi menyambut di bandara. Tanpa seremonial, tanpa lagu kebangsaan. Lalu Pak Harto dan rombongan buru-buru dijebloskan ke dalam panser putih bertulisan UN. Panser APC ini (Armoured Personal Carrier) menurut sumber hanya bisa dibuka pintunya oleh dua orang. Satu dari luar, satu lagi dari dalam. Perjalanan 25 menit menuju istana Presiden Bosnia Alija Lzetbegovic tampak sangat mengesankan, menurut Moerdiono.

“Bayangkan, kami hanya bisa melihat panser yang keras itu hanya dialasi selimut tebal. Dan bunyinya, Masya Allah.. berisik banget di telinga!”, ujar Mensesneg merepotasekan kembali suasana yang dialaminya.

Panser anti peluru itu berjalan dikelilingi panser-panser lain sebagai pengawal. Menurut sumber lagi, Pak Harto dimasukkan ke dalam panser ke 7, sehingga dengan diacak begitu, tak mudah orang mengetahuinya. Dalam satu panser lazimnya ada satu sopir, satu komandan kendaraan, dan dua pengawal. Selebihnya, enam orang adalah penumpang. Pak Harto berada bersama ajudan dan pengawal pribadi. Yang juga mencengangkan, dalam perjalanan ke istana, rombongan panser harus melewati jalan-jalan yang di sebelah kanannya adalah bukit-bukit tinggi tempat sniper (penembak gelap) Serbia mengintai.

Bukit-bukit yang disebut Sniper Alley memang sangat ditakuti di Bosnia. Bahkan tak segan-segan penduduk Serbia menghantam penumpang trem (kereta api listrik) dari bukit itu. Pagar betis panser-panser dan satu pleton UNPROFOR tetap menjaga rombongan sampai tiba di Istana.

“Kami salut betul atas kesiapan UNPROFOR menjaga Pak Harto,” ujar Moerdiono.

Pengawal dari Indonesia memang akhirnya tak berfungsi selama kunjungan. Hanya ada beberapa anggota Paspampres dan bahkan anggota pasukan antiteror dari Detasemen 81 Kopassus pimpinan Kapten Andhika (menantu eks Pangdam Hendropriyono) yang berangkat dari Jakarta tanggal 9 Maret lalu, hanya sampai di Zagbreb saja. Padahal, Andhika dan kelima anak buahnya sudah bersiap diri untuk turut mengawal Pak Harto. Pasukan ini juga sebelumnya sudah menitipkan senjatanya di penerbangan DC 10 Garuda yang digunakan Presiden beserta rombongan. Mereka memang tidak berangkat dengan pesawat yang sama, melainkan dengan Lufthansa lewat Frankfurt menuju Zagreb.

The smilling general and Alija Izetbegović in Sarajevo, 1995
Presiden Bosnia sesungguhnya amat ingin kunjungan bersejarah ini diliput sebanyak-banyaknya oleh wartawan asing dan Indonesia. Bahkan kepada tim advanced (tim pendahulu) Indonesia, sebelumnya ia mengatakan ingin diwawancarai secara terbuka oleh pers Indonesia. Oleh sebab itulah Moerdono begitu bersemangat mengajak 29 wartawan dari tanah air.

“Sayangnya, pihak UNPROFOR yang mengatur dan membatasi. Ini demi keselamatan,” ujar Pranowo.

Saat Pak Harto keluar dari panser di halaman Istana presiden Alija, ratusan penduduk Sarajevo berteriak sambil melambaikan tangan dengan hangat. Menurut sumber, suasana memang mengharukan, apalagi saat makan siang berlangsung.

“Terasa betul daging yang dihidangkan sudah lama disimpan di freezer. Lalu potongan kejunya… astaga… setipis potongan silet. Sungguh menyedihkan. Belum lagi para pengawal istana yang melihat hidangan kami dengan ngiler. Mereka sudah lama tidak mencicipi makanan enak. Mengharukan sekali sehingga membuat kami juga jadi tak enak makan. Pergi ke kamar mandi. WC-nya tak ada air, hanya disediakan air dalam satu ember kecil saja. Istanapun seperti keadaan kantor biasa,” cerita sumber saya.

Pak Harto, lucunya juga ketika bersantap menanyakan kepada Alija, darimana mereka bisa memperoleh pengadaan sehari-hari, dan dijawab oleh Alija,

“Yaaa… dari badan-badan sosial resmi maupun cara yang tak resmi..!” Dan satu ruanganpun tertawa. “Kami bisa melihat bagaimana bahagianya Presiden Bosnia saat itu menyambut kedatangan Pak Harto,” kata Ali Alatas saat saya duduk di sebelahnya di pesawat, menuju ke Indonesia. 

Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin saat mengawal penguasa 32 tahun itu ke Bosnia,1995.

Kala itu, di tengah baku tembak antara Bosnia dan Serbia, Pak Harto berkunjung ke Bosnia-Herzegovina menemui Presiden Bosnia Alija Izetbegovic. Pesawat Soeharto terus menerus diawasi senapan anti pesawat udara. Presiden ke-2 RI ini pun dibidik sniper. Namun Soeharto kalem saja.

Saat itu Sjafrie berpangkat kolonel dan menjabat Komandan Grup A Paspampres. Ketika masih berada di Kroasia, terdengar kabar pesawat yang ditumpangi Utusan Khusus PBB Yasushi Akashi ditembaki saat terbang ke Bosnia. Namun insiden penambakan itu tidak menyurutkan langkah Soeharto ke Bosnia.

Karena keterbatasan kursi, hanya Sjafrie dan Mayor CPM Unggul yang mengawal Soeharto dalam pesawat sewaan itu. Sjafrie juga menulis Soeharto enggan mengenakan rompi anti peluru dan helm baja. Padahal semua memakai rompi antipeluru seberat 12 kg yang bisa menahan proyektil M-16.

“Eh, Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja,” ujar Soeharto pada Sjafrie.

Pak Harto tetap menggunakan jas dan kopiah. Sjafrie pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut.

“Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah,” terang Sjafrie.

Saat mendarat di Sarajevo, Sjafrie melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk merontokkan pesawat terbang terus mengikuti pesawat yang ditumpangi rombongannya. Saat konflik, lapangan terbang itu dikuasai dua pihak. Pihak Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan landasan dikuasai Bosnia.

“Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah,” tulis Sjafrie.

Pak Harto kemudian naik panser VAB yang disediakan PBB. Mereka melewati sniper valley, sebuah lembah yang penuh diisi penembak jitu dari kedua pihak yang bertikai. Untungnya tidak ada apa-apa selama perjalanan. Soeharto pun tiba di istana kepresidenan Bosnia yang saat itu keadaannya memprihatinkan. Tidak ada air sehingga air bersih harus diambil dengan ember. Selama pertemuan, Sjafrie melaporkan ada tembakan meriam tak jauh dari istana.

Setelah meninggalkan istana, Sjafrie pun bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. Termasuk menyampingkan keselamatan dirinya.

“Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang, ya kita datang saja. Kita tengok. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik dan mereka menjadi tambah semangat,” jawab pak Harto.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...