KAPAL yang sudah 40 tahun berendam di air asin itu akhirnya mendarat.
Kini ia menempati posisi baru: menjadi bagian dari sejarah, untuk
diingat anak-cucu. Begitulah, sejak Selasa pekan lalu, KRI Harimau
menjadi koleksi Museum Purna Bhakti Pertiwi, yang sedang dibangun di
depan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Museum ini akan berisi
barang-barang yang berkaitan dengan perjuangan
Presiden Soeharto. Sekarang, kapal tadi sudah berdiri di hamparan tanah
yang masih merah. Ukurannya yang 42,5 x 7 meter terasa kecil di areal
seluas 19,8 ha itu. Warna abu-abunya sudah memudar -- belum diperbarui.
Hanya nomor lambung "655" warna putih, serta tulisan "Harimau" dan
gambar Garuda berwarna kuning, yang masih jelas terbaca. KRI Harimau
yang bertipe MTB (motor torpedo boat) ini memang punya nilai sejarah.
Antara lain terlibat pada pertempuran Laut Aru tanggal 15 Januari 1962.
Waktu itu Indonesia mengadakan Operasi Trikora untuk membebaskan Irian
Barat yang masih dikuasai Belanda. Sejumlah kapal, termasuk Macan Tutul
dan Macan Kumbang, yang buatan Jerman Barat, dikerahkan. Malang, pesawat
terbang Belanda menenggelamkan Macan Tutul, dengan Komodor Jos Soedarso
di atasnya. Harimau tak menjadi korban. Malahan terus berkeliaran di
laut daerah timur. Kapal ini dipakai dalam Operasi Jayawijaya untuk
mendaratkan pasukan RI di Irian Barat. Ia juga pernah digunakan oleh
Panglima Mandala yang memimpin Oper- asi Pembebasan Irian Barat, Mayjen.
Soeharto (kini Presiden), dalam inspeksi Pulau Peleng, Gorontalo.
Resminya, Harimau pensiun mulai 1 Februari 1966. Tapi nasibnya baik.
Kapal itu diberi tempat di museum. Mulailah perjalanan terakhir Harimau.
Menurut Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Kolonel M.A. Supriyo Taram,
"Sebenarnya kapal ini masih mampu hidup mesin dan berlayar." Namun, demi
keamanan, Harimau ditarik kapal LST KRI Jayawijaya ke Jakarta pada
Oktober lalu. Yang paling sulit justru perjalanan di Jakarta -- dari
Tanjungpriok ke TMII. PT Citra Tranindo SHS Dua Tiga dan PT Usaha
Arthamuat Pratama yang kebagian kerja. Rute perjalanan sejauh 26 km
dipilih. Jalan Enggano, sepanjang Jalan A. Yani, Jalan Raya Bogor,
menuju TMII. Petugas sibuk mengukur ketinggian jembatan yang kolongnya
akan dilewati. Sebab, tinggi kapal di atas trailer mencapai 5,10 meter.
"Perjalanan boleh dikata lancar," kata Haidar Amran, Direktur Komersial
PT Usaha Arthamuat. Empat hari sebelumnya, mereka sudah mengadakan gladi
resik. Trailer hidrolik 160 roda -- bermuatan kayu yang dipasang
setinggi dan selebar kapal yang bakal diangkut ditarik dua traktor
bertenaga 400 tenaga kuda menyusuri rute. Setelah sukses dengan uji
coba, Harimau diangkut. Bagian menara dan isinya telah dipreteli hingga
bobotnya tinggal 80 ton. Putri Presiden, Siti Hardiyanti Rukmana,
didampingi oleh Kepala Staf TNI-AL Laksamana M. Arifin, melepas
pemberangkatan kapal itu. Petugas PLN harus meninggikan kabel listrik di
jalan yang hendak dilalui konvoi. Perjalanan darat ini, memerlukan
biaya Rp 120 juta. Tak semua kapal bekas operasi pembebasan Irian Barat
ditampung di museum. KRI Macan Kumbang sudah menjadi besi tua. KRI Hiu
tenggelam setelah dipakai uji coba penembakan. Nilai lebih Harimau,
menurut Hediyanto, Pimpinan Proyek Museum Purna Bhakti Pertiwi, "karena
yang dipakai Presiden Soeharto." Tutut, sebutan Siti Hardiyanti,
menjelaskan lebih lanjut. "Ketika itu Bapak bertanya pada KSAL, apakah
kapal-kapal perang yang digunakan dalam Operasi Man- dala masih ada.
Ternyata, masih ada dan tinggal satu. Yakni KRI Harimau. Maka, Bapak
memilih KRI Harimau terlebih dahulu. " Rencananya, Sang Harimau bakal
disusul kapal selam eks Mandala pula. Jakarta, 20 Januari 1990.