Popular Posts

Mendengarkan Ben Mboi Bertutur tentang Pemimpin

marinir TEAM-

Mendengarkan Ben Mboi Bertutur tentang Pemimpin

Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF version of this webpagePDF
Ia datang dengan bertongkat, jalannya tidak lagi tegak dan gagah. Ini sangat berbeda dengan kurang lebih 27 tahun lalu, ketika pada akhir 1985 saya dipanggil untuk berbicara mengenai pengendalian kutu loncat lamtoro (Heteropsylla cubana) di Aula Kantor Gubernur NTT. Sebagai seorang dosen yang baru saja lulus S1, saya sebenarnya tidak tahu harus menyampaikan apa, tetapi karena saya merasa harus melakukan sesuatu dan mempunyai sedikit latar belakang ekologi maka saya mencoba menjelaskan, bagaimana suatu organisme berstatus sebagai organisme pengganggu (hama) sebagai dasar untuk memberikan rekomendasi pengendalian. Tapi sebelum saya selesai berbicara, ia memotong saya. Ia mengibaratkan kutu loncat lamtoro sebagai pasukan musuh. Memang benar, organisme pengganggu tumbuhan adalah memang musuh. Ia melanjutkan, cara paling tepat untuk mengalahkan musuh adalah dengan memotong jalur logistiknya. Karena itu, katanya melanjutkan, untuk mengendalikan kutu loncat lamtoro maka seluruh pohon lamtoro di Provinsi NTT harus dipangkas. Ketika itu ia seorang gubernur, gubernur era Orde Baru pula, siapa yang kuasa untuk membantah.


Sabtu, 20 April 2013, Ben Mboi, gubernur yang saya maksud itu, berbicara di depan saya sebagai penerima 2012 NTT Academia Award kategori Lifetime Achievement dan ia berbicara mengenai pemimpin, bukan mengenai kepemimpinan. Ia berbicara hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Ada beberapa hal, tetapi saya mencoba mengetengahkan dua hal: pembangunan semangat berbangsa dan keberanian untuk bertanggung jawab. Alasan saya tertarik terhadap dua hal ini sederhana saja. Para pejabat di negeri ini sebagian besar, atau malahan mungkin semuanya, tidak memiliki karakteri ini sebagaimana dimiliki oleh Ben Mboi. Saya menggunakan istilah pejabat karena saya sangat setuju oleh apa yang disampaikan Ben Mboi, pemimpin harus dibedakan dengan pejabat. Bukan soal apakah pejabat diturunkan dari atas sedangkan pemimpin lahir dari bawah, melainkan apa yang dilakukan oleh seseorang setelah menduduki jabatan. Di negeri demokratis dengan biaya ratusan milyar rupiah untuk memilih seorang bupati/walikota atau gubernur, sepertinya memang akan ada pemimpin yang akan lahir dari bawah. Tapi kenyataannya, dengan sistem demokrasi yang digunakan sekarang, yang lahir lebih sering bukan seorang pemimpin, melainkan pejabat yang lebih mementingkan partainya, atau konstituennya, daripada seluruh rakyat yang dipimpinnya. Kita menyaksikan sendiri, bagaimana pejabat tinggi mempertontonkan bahwa menyelamatkan partainya menjadi begitu penting.

Ia masih berbicara dengan gaya yang sama sebagaimana saya menyaksikannya kurang lebih 27 tahun lalu. Ia memulai pembicaraannya dengan mengutip naskah proklamasi kemerdekaan. Menurutnya, naskah proklamasi itu menyatakan, sebelum proklamasi tidak ada yang namanya bangsa Indonesia. Ia melanjutkan, proklamasi kemerdekaan itu merupakan pernyataan kesepakatan untuk membentuk negara kebangsaan (nation state), yaitu negara yang dibentuk bukan atas dasar rumpun  suku, agama, atau apapun, melainkan kesepakatan untuk menjadi bangsa. Maka tugas seorang pemimpin, menurut Ben Mboi, adalah membangun rasa berbangsa (nation building). Saya sudah membaca memoar Ben Mboi (ringkasannya: 12345), maka saya tidak heran kalau mantan Gubernur NTT begitu bersemangat berbicara mengenai hal ini. Saya hanya bisa berkaca-kaca mendengar ia merasa sangat marah terhadap pejabat yang tidak mampu melakukan pembangunan semangat berbagsa ini. Kita menyaksikan bagaimana para pejabat tinggi republik ini mengatakan bahwa bangsa Indonesia serumpun dengan bangsa Malaysia dengan begitu salah mensubordinasi bangsa Indonesia sebagai rumpun Melayu. Mereka lupa bahwa orang Papua bukan Melayu, bahkan sebagian orang NTT juga bukan Melayu. Bagaimana membangun rasa berbangsa kalau pejabatnya saja sudah begitu.

Belum lagi bagaimana parahnya orang-orang yang berebut ingin menjadi pejabat di daerah, entah itu bupati/walikota atau gubernur. Ben Mboi mengatakan, berkaitan dengan pemilukada Gubernur NTT, menerima pesan singkat berisi ajakan untuk mengalahkan lawan hanya karena lawan itu berbeda suku atau agama. Saya tidak heran mengenai hal ini, lihat saja bagaimana para kandidat berpasangan. Kalau kandidat gubernur beragama A maka kandidat wakil gubernur akan dicari orang dengan agama B. Di satu sisi, cara ini memang tampak mempersatukan, tetapi sejatinya juga mengesankan bahwa semangat primordialisme ternyata masih begitu kental. Tidakkah kita bisa memilih sepasang gubernur dan wakil gubernur bukan karena agamanya, melainkan karena program yang ditawarkannya? Lalu apa yang bisa kita harapkan dari hajatan demokrasi seperti ini? Maka saya tidak berani bermimpi bahwa lima tahun ke depan NTT akan lebih baik dari sekarang, setidaknya dalam membangun rasa berbangsa, yang seharusnya merupakan tugas, menurut Ben Mboi, bukan hanya seorang presiden, tetapi .juga gubernur, bupati/walikota, camat, kepala desa/lurah, dan bahkan kepala dusun/RW dan RT.

Lalu Ben Mboi dengan begitu bersemangat bercerita tentang keberanian. Seorang pemimpin, katanya, haruslah a man of courage, seorang yang mempunyai keberanian. Apa yang dimaksud dengan keberanian di sini tentu saja bukan sekedar keberanian dalam arti fisik, melainkan keberanian untuk selalu berpihak pada yang dipimpin. Bagi seorang pemimpin, dia tidak harus takut diberhentikan dari jabatannya untuk mempertanggungjawabkan kesalahan bawahannya. Ben Mboi mencontohkan dengan menyebut seorang menteri yang mengaku tidak tahu menahu mengenai korupsi yang terjadi di kementeriannya. Tapi itu baru satu contoh saja. Lihatlah bagaimana seorang menteri sama sekali tidak merasa bersalah atas karut marut ujian nasional dengan mengatakan bahwa itu murni kesalahan percetakan. Dan itu terjadi pada kementerian yang selama ini mengusung kebijakan bahwa kompetensi adalah segala-galanya. Kalau memang kompetensi adalah di atas segala-galanya, mengapa bisa terjadi kementerian yang seharusnya berkompetenm ini mempertontonkan ketidakkompetenannya sendiri, menyelenggarakan ujian nasional pada hari yang berbeda di satu negara? Bukankah ujian yang penyelenggaraanya seperti itu bisa menyiratkan bahwa 11 provinsi yang diundur pelaksanaan ujian nasionalnya berarti bernasional yang berbeda? Dikemanakan pembangunan rasa berbangsa oleh pejabat seperti ini?

Tetapi membela rakyat tentu saja tidak boleh diartikan secara sempit. Bagi seorang Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), semua penduduk DIY, tanpa memandang darimana mereka berasal, termasuk yang berasal dari NTT, adalah rakyat DIY. Dalam konteks ini, pemimpin NTT seharusnya meratapi keempat orang asal NTT yang diberondong di rumah tahanan di sana itu, bukan hanya karena mereka orang asli NTT, melainkan lebih karena keempatnya adalah manusia yang seharusnya tidak patut memperoleh perlakuan seperti itu. Seandainya keempat orang yang diberondong itu adalah penduduk NTT bukan asli NTT, apakah mereka akan diratapi begitu rupa? Kalau jawabannya ya maka pemimpin itu tidak perlu diragukan semangatnya untuk membangun rasa berbangsa. Saya tidak mengatakan tidak, tetapi kalau yang terjadi adalah seperti itu maka pejabat itu, atau siapapun dia, telah menghancurkan rasa berbangsa. Dan dari apa yang saya dengar dari Ben Mboi, saya rasa jawabannya adalah ya. Silahkan simak analisis Ben Mboi mengenai lepasnya Timor Timur dari NKRI:
Alhasil kelompok-kelompok yang tadinya mendeklarasikan integrasi di Batugede dan Balibo berbalik menjadi anti-integrasi. Hasil referendum tahun 1999, bukan karena orang Timtim tidak setuju untuk berintegrasi ke dalam RI, tapi lebih karena miss managementyang membuat orang Timtim membenci Indonesia. Fretelin menang dalan Referendum 1999 bukan karena disenangi, melainkan karena mereka berhasil mengeksploitasi kesalahan Indonesia disana, khususnya TNI. Manajemen Timtim hanya manajemen teritorial secara fisik militer, bukan management suatu nationcharacter, danstate-building. Lebih menyedihkan, negara (dengan kata lain lembaga-lembaganya) tidak sadar akan tugas nation-buildingmereka.
Tulisan dalam memoar tersebut persis sama dengan apa yang saya dengar di sana, ketika pada 2007-2009, setelah Timor Timur lepas dari NKRI, saya mendapat kesempatan melakukan penelitian di sana. Saya hanya bisa berandai-andai, kalau saja yang diangkat menjadi Gubernur Timtim adalah seorang Ben Mboi. Tapi para pejabat seharusnya tidak boleh melupakan sejarah. Kalau saja masih banyak pemimpin seperti Ben Mboi di negeri ini, sebagai orang yang sudah kurang lebih 27 tahun menjadi penduduk NTT, meskipun bukan asli NTT, saya tidak perlu khawatir harus kehilangan hak sebagaimana yang dimiliki oleh penduduk asli NTT.

Kembali kepada soal kutu loncat lamtoro. Setelah lamtoro dipangkas, ternyata kutu loncat bukannya berkurang, melainkan justeru sebaliknya, bertambah banyak. Ini bisa terjadi karena setelah dipangkas, lamtoro akan bertunas dan tunas ini adalah makanan yang lebih disukai kutu loncat daripada pucuk tua. Saya sebenarnya baru akan menjelaskan hal ini ketika Ben Mboi memotong dan memerintahkan untuk melakukan pemangkasan serempak terhadap seluruh pohon lamtoro yang ada di NTT ketika itu. Saya sempat menyimpan perasaan tidak bisa menerima sekian lama. Tapi kini, setelah mendengar sendiri Ben Mboi bertutur mengenai bagaimana seharusnya seorang pemimpim, saya sangat memaklumi mengapa keputusan itu diambil. Melalui kesempatan ini, saya menyampaikan selamat kepada Pak Ben, begitu ia biasa disapa oleh koleganya, atas penghargaan NTT Academia Award ini. Mudah-mudahan, suatu saat nanti, akan lahir pemimpin-pemimpin NTT yang sekaliber Ben Mboi dalam hal membangun rasa berbangsa dan keberanian untuk membela rakyat daripada sekedar menghamba kepada atasan atau kelompok yang menjadikan seseorang sebagai pejabar.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...