marinir TEAM-
All hands,
Dalam pengadaan sistem senjata, tak ada yang gratis di dunia ini. Semua
sistem senjata yang didapatkan dari pihak asing pasti ada nominal
harganya, bahkan sekalipun sistem senjata itu diberikan dalam bentuk
hibah. Demi memperkuat kemampuan pertahanan negeri ini, termasuk
kemampuan Angkatan Laut, militer Indonesia tak segan untuk mengeluarkan
uang guna mengakusisi berbagai sistem senjata yang terhitung cukup
mahal.
Akan tetapi pola demikian tak berlaku untuk membangun sistem data dan
informasi intelijen. Setiap kekuatan militer, termasuk Angkatan Laut,
harus mempunyai sistem data dan informasi intelijen sendiri yang
bermanfaat untuk menganalisis arah dan dinamika subyek yang menjadi
perhatian di masa depan. Sebagai contoh, data dan informasi intelijen
mengenai pembangunan Angkatan Laut negara-negara di kawasan dari sekian
tahun silam hingga saat ini. Dari data dan informasi tersebut bisa
dilihat bagaimana arah dan dinamika pembangunan yang dilakukan selama
sekian tahun, sehingga dapat diprediksi pula bagaimana dampaknya bagi
kekuatan laut Indonesia ke depan.
Guna membangunan sistem data dan intelijen di bidang strategis,
dibutuhkan adanya pemasok informasi untuk diolah lebih lanjut. Sumber
pemasok informasi itu tak dapat hanya mengandalkan pada jalur Atase
Pertahanan dan Google saja. Sebab kedua sumber itu memiliki keterbatasan
pula, sehingga harus dilengkapi dengan sumber-sumber informasi lainnya
yang bersifat open source.
Banyak militer di dunia ini yang mengandalkan pengumpulan data dan informasi intelijen melalui open source tanpa
mengabaikan sama sekali sumber-sumber tertutup. Sebab sesuai dengan
formula intelijen, lebih dari 95 persen data dan informasi intelijen
berasal dari sumber open source. Sebagai contoh adalah militer
Singapura yang membelanjakan lebih dari ratusan ribu dollar Amerika
Serikat, bahkan menyentuh nilai jutaan dollar Amerika Serikat, untuk
pengumpulan data dan informasi intelijen yang berasal dari open source. Begitu pula dengan negara lain di kawasan Asia Pasifik seperti Jepang dan Australia, bahkan Negeri Tukang Klaim sekalipun.
Terkait dengan Indonesia, mental ingin mendapatkan data dan informasi intelijen lewat open source masih
sangat kuat. Kekuatan pertahanan negeri ini, termasuk Angkatan Laut,
masih berpikir ribuan kali untuk mengeluarkan uang untuk berbelanja bagi
kepentingan pengumpulan data dan informasi intelijen itu lewat open source.
Padahal uang yang dikeluarkan tersebut sebenarnya berbanding lurus
dengan apa yang didapatkan. Sebab biaya untuk membangun jaringan
tersendiri dalam hal open source jauh lebih mahal daripada yang dibayarkan lewat open source yang tersedia di pasaran.
Dalam dunia yang sangat dinamis saat ini di mana dinamika politik dan
keamanan bisa berubah hanya dalam hitungan jam, mengandalkan pada Google
yang gratis sebagai sumber utama untuk open source adalah
pendekatan yang sangat tidak tepat. Harus diingat bahwa tak ada makan
siang yang gratis. Selama mental gratis masih mengedepan, sangat amat
sulit untuk mengharapkan kinerja intelijen militer yang lebih baik
daripada saat ini. Justru kinerja itu akan tetap landai dari tahun ke
tahun.