Popular Posts

Soeharto Presiden: Desakan Jenderal Nasution Kepada Bung Karno

KENANGAN TAK TERLUPAKAN

Penuturan : Sujarwo - Reporter  RRI  (1954-1976) [1]


Pak Harto berusaha untuk tidak mempunyai musuh, untuk itu beliau selalu akomodatif. Sebagai orang Jawa yang kental dalam spiritual, beliau mempercayai adanya “wisik” yang untuk orang awam secara langsung sulit dibuktikan. Saya percaya, tindakan-tindakan Pak Harto sebagian besar berdasarkan “wisik” yang diterimanya.
Sujarwo pada saat ini adalah anggota “Persaudaraan Wartawan Istana” paling senior, dengan usianya yang sudah mencapai 88 tahun (2013). Berpengalaman meliput kegiatan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto dalam kurun waktu pengabdiannya sejak tahun 1954 hingga 1976 di Istana Kepresidenan. Mengawali kariernya di Radio Republik Indonesia (RRI) dan ia pun salah-seorang pendiri buletin KNI. Mengenal Pak Harto sejak awal revolusi (1946-1949), saat terjadinya “Serangan Oemoem Satu Maret”. Ia menjadi bagian dari Pasukan Wehrkreise III, yang bertugas di Magelang, bertanggungjawab menghambat tentara Belanda di Semarang yang menuju ke Yogyakarta. Letnan Kolonel Soeharto adalah Komandan Wehrkreise III. Setelah tahun 1949 itu, ia bertemu Pak Harto seusai berlangsungnya demobilisasi dan pemulihan pemerintahan. Ia hijrah ke Jakarta dan ketika sudah bertugas di Radio Republik Indonesia (RRI)meliput kegiatan Presiden Soekarno, dilanjutkan meliput kegiatan Presiden Soeharto hingga tahun 1976.
Mengingat usianya yang sudah uzhur, maka Koordinator Tim Pewawancara (Koos Aroemdanie) yang mengunjungi rumahnya di Padalarang, Jawa Barat, kemudian menuliskan penyampaian panjang mengenai kegiatan liputannya. Walau usianya sudah 87 tahun, namun daya ingatnya masih bisa kami andalkan. Segudang pengalamannya sebagai Tentara Pelajar semasa perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda, bergerilya di daerah Magelang dan Kedu tergabung di dalam Pasukan Werhkreise III. Kemudian menjadi guru dan reporter  RRI. Berkat pengalamannya itu, ia pun kerap disebut bak kamus berjalan. Kini Sujarwo menjadi anggota Legiun Veteran RI yang masih aktif mengikuti pertemuan-pertemuan yang berlangsung setiap bulan.

Meliput Situasi Pasca G-30-S/PKI:

Tuntutan Rakyat dan Mahasiswa

Sujarwo menyayangkan saat terjadinya kudeta G-30-S/PKI, tak berada di Jakarta. Bersama sejumlah wartawan ibukota lainnya, Sujarwo mengikuti Menteri Perindustrian Teksil Mayor Jenderal Ashari Danudirdjo ke Jawa Timur, meresmikan Pabrik Tekstil Grati di Grati pada tanggal 1 Oktober 1965. Oleh karena itu, ia tak berkesempatan berada di Kantor Pusat RRI, Jakarta, sehingga tak bisa menjadi peliput pertama dalam peristiwa tragis tersebut. Namun hari-hari selanjutnya pasca peristiwa kudeta PKI itu, ia bisa aktif meliput seputar kegiatan Pak Harto.
Tatkala Indonesia berhasil mengatasi peristiwa G-30-S/PKI, di bawah Komando Panglima KOSTRAD, Mayor Jenderal Soeharto, menurut penuturan Sujarwo, selanjutnya Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Jenderal Abdul Harris Nasution, bertindak cepat. Jenderal berbintang empat inipun merespons tuntutan mahasiswa dan rakyat, agar segera dilakukan pergantian Pimpinan Nasional. Setelah melalui proses tarik-ulur di dalam tubuh MPRS dan DPR-GR, Jenderal Nasution berhasil membawa Soeharto menempati posisi Pejabat Sementara Presiden (1967).
Selaku Ketua MPRS, Jenderal A.H. Nasution menyampaikan penunjukkan Ketua Presidium Kabinet Ampera, Letnan Jenderal Soeharto itu kepada Presiden Soekarno. Dalam percakapan antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Nasution tersebut, sempat ditanyakan alasan Ketua MPRS memilih Soeharto. Dengan tegas Nasution menyampaikan bahwa selama ini Soeharto memiliki reputasi militer yang sangat baik. Selain itu telah berhasil mengatasi kemelut yang ditimbulkan oleh PKI.

Pak Harto: “Saya Cuma Tentara”

Sebagai Panglima KOSTRAD, Mayor Jenderal Soeharto berhasil cepat mengatasi kekejaman Partai Komunis Indonesia dalam melakukan kudeta pada tanggal 30 September 1965. Lebih jauh, selaku Pejabat  Presiden Pak Harto pun sudah berupaya sekuat tenaga melaksanakan pemulihan kondisi keamanan, ketertiban serta perkembangan politik di dalam negeri. Di sisi lain, keresahan mahasiswa dan rakyat menilai munculnya “dualisme” Kepemimpinan Nasional. Yakni, antara Bung Karno selaku Presiden de facto dengan Pak Harto selaku pengendali pemerintahan sebagai Pejabat Presiden. Sejumlah Kesatuan Aksi yang diprakarsai oleh Kesatuan Aksi Mahasiwa Indonesia (KAMI) — yang terbentuk tahun 1966 — menyerukan tuntutan “Tritura”. Tak lepas pula, menuntut agar MPRS melakukan pergantian pimpinan nasional. Begitulah setidak-tidaknya yang sempat berkembang di tengah-tengah masyarakat dan para mahasiwa. Kesan ini makin mengemuka saat-saat menjelang Sidang Istimewa MPRS. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan situasi tersebut MPRS segera menentukan sikap.  Apalagi demonstrasi sudah marak di mana-mana, tidak saja di Jakarta.
Sujarwo yang tak pernah absen meliput saat demi saat perkembangan situasi dan kondisi pasca G-30-S/PKI itu, menjadi saksi bagaimana perjuangan Ketua MPRS Jenderal Nasution mencalonkan Soeharto sebagai calon tunggal pengganti Soekarno, dengan pertimbangan ; Pertama, secara rasional suku Jawa adalah mayoritas dan sejak awal perjuangan tokoh-tokoh nasional yang muncul mayoritas dari suku Jawa. Kedua, secara kultural masyarakat suku Jawa akomodatf dan toleran. Ketiga, prestasi militer dan kepemimpinan Pak Harto sudah terbuktikan.
 Kesimpulan akhir Jenderal Nasution, untuk jangka yang cukup lama Indonesia masih harus dipimpin oleh seseorang yang berasal dari Jawa. Pada saat itu Jenderal Soeharto dinilai sebagai  “orang Jawa” yang sering ditafsirkan menganut filosofi Jawa dan memenuhi persyaratan menjadi Presiden RI. “Ketokohan Pak Harto pada tahun-tahun itu sangat menonjol, demikian pula prestasi militer sebelumnya. Masyarakat dan mahasiswa utamanya, mendesak agar segera dilakukan pergantian pimpinan nasional”, kata Sujarwo.
Jenderal A.H. Nasution selaku Ketua MPRS dan pemrakarsa pencalonan Soeharto segera menemui Bung Karno. Beliau menyampaikan bahwa Jenderal Soeharto adalah calon tunggal untuk menjadi Presiden RI, dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas serta menilik bobot kepemimpin yang dimiliki Soeharto. Selain itu kenyataan bahwa kekuatan arus bawah mendukung tampilnya Soeharto menjadi pemimpin nasional. Maka sudah sepatutnya bila Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai Presiden. Ketika Jenderal Nasution menyampaikan hal ini kepada Bung Karno, beliau dalam bahasa Belanda memberikan komentarnya :
“Silahkan saja, saya mempunyai jalan sendiri”, kata Bung Karno, yang juga disampaikan Sujarwo dalam bahasa Belanda.
 Sujarwo masih ingat, menjelang pengusulan Jenderal Soeharto sebagai calon Presiden RI, dalam sidang-sidang MPRS yang diadakan di Gedung Istora Senayan, beliau berhadapan dengan seluruh elemen masyarakat yang terwakili di DPR Gotong-Royong serta MPRS. “Mereka menanyakan kesiapan Pak Harto untuk memimpin Bangsa dan Negara Indonesia”, kata Sujarwo, yang dijawab Pak Harto  dengan kerendahan hati ;
“Saya ini kan cuma tentara. Kalau perang saya bisa, tapi untuk jadi Presiden saya ini hanya sekuku hitamnya Bung Karno” kata Pejabat Presiden Soeharto.
Ketika Pak Harto mengucapkan jawaban tersebut, banyak yang menilai suatu ekspresi sifat Pak Harto yang selalu “low profile”.  Namun demikian, tekad memilih Pak Harto sebagai pengganti Bung Karno, tak surut.
“Pada saat itu tidak ada tokoh lain yang dianggap mampu memimpin Bangsa Indonesia. Apalagi situasi dan kondisi negara baru saja mengalami gejolak G-30-S/PKI. Maka jadilah Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia ke II, yang disyahkan oleh MPRS pada Sidang Istimewa ke V, tahun 1968 ” ,kata Sudjarwo.
Maka jadilah Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia ke II, yang disyahkan oleh MPRS pada Sidang Istimewa ke V, tahun 1968.  Seluruh Pimpinan Angkatan Laut, Angkatan Udara serta POLRI bersama-sama Angkatan Darat turut mendukung Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI menggantikan kepemimpinan Soekarno. Jenderal Soeharto dilantik menjadi Presiden RI ke II pada tahun 1968. Proses penetapan Pak Harto dari Pejabat Sementara Presiden menjadi Presiden memakan waktu sekitar enam bulan. Tetapi pengangkatan menjadi Presiden RI ke II itu, oleh Pak Harto diisyaratkan agar pengangkatannya tersebut secara konstitusional harus melalui pemilihan umum. Tahun 1971, kemudian digelar pemilihan umum pertama yang diselenggarakan Pemerintah Orde Baru.
Berangkat dari situasi inilah (1967), kemudian Pak Harto yang sudah menjadi Pejabat Presiden mengumpulkan para tokoh sembilan partai politik yang masih eksis, PNI, NU, Murba, PSII, Parkindo, Khatolik, Perti, Partindo-IPKI dilengkapi gengan kehadiran tokoh Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Berbekal dengan ketenangan beliau dalam pertemuan ini, Soeharto menanyakan; Negara Republik Indonesia ini mau dibawa kemana? Menanti jawaban dengan penuh kesabaran, ternyata tokoh-tokoh kesembilan partai politik tersebut tidak satu pun yang bisa menyampaikan konsep pembangunan Republik Indonesia, di tengah-tengah pemulihan keamanan akibat timbulnya gejolak tragedi G-30-S/PKI.
Singkat ceritera, menilik situasi umum di negeri ini serta kesenjangan konsep bernegara dari partai-partai politik yang saat itu masih menikmati eksistensinya, maka pihak Angkatan Darat memprakarsai diadakannya seminar yang berlangsung di SESKOAD, Bandung. Di sini muncul konsep-konsep pembangunan ekonomi yang dihadirkan oleh kelompok “Berckley” dipimpin Prof.Dr. Widjojo Nitisastro. Selain para Jenderal berpengaruh, antara lain A.H. Nasution, M. Panggabean, tampil pula para pakar ekonomi; Prof. Sadeli, Prof. Subroto, Emil Salim dan Ali Wardhana  serta tokoh-tokoh lain-lainnya. Dari hasil seminar itu kemudian dikembangkan menjadi Seminar Hankam (ABRI). Hasilnya antara lain ;
  • Integrasi dikalangan militer, rakyat dan seluruh unsur politik (partai-partai), apapun konsekwensinya.
  • Terjaminnya situasi keamanan, apapun konsekwensinya. Karena faktor keamanan merupakan syarat utama bagi berlangsungnya pembangunan.
  • Kepemimpinan pembangunan Bangsa dan Negara tidak dipercayakan kepada partai politik, tetapi pada peran unggul ABRI. Dari konsep ini kemudian terjadi perubahan sistim kepartaian di Indonesia, sembilan partai diperas menjadi dua partai PPP dan PDI diperkuat oleh ABRI serta peranan Sekber Golkar.
Dikemudian hari hasil-hasil seminar tersebut dijadikan landasan utama pilar pembangunan Pemerintahan Orde Baru di bawah Kepemimpinan Presiden Soeharto. Pilar pembangunan tersebut dijabarkan oleh BAPPENAS yang dipimpin oleh Prof.Dr. Widjojo Nitisastro, yang kemudian menghasilkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) lalu dimplementasikan melalui tahapan-tahapan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).

Panggilan di Pagi Hari: Bung Karno Wafat

Pagi itu Sujarwo masih berada di rumahnya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tiba-tiba ia menerima berita agar segera ke Istana Kepresidenan di Jalan Merdeka Utara. Penting! Begitu pesan yang diterimanya. Ia pun segera bergegas menuju ke Istana dengan penuh tanda-tanya. “Ada apakah gerangan?”. Ada sedikit rasa gusar pada dirinya.
Setibanya di Istana, ia diminta segera masuk ke ruangan di mana Presiden Soeharto sedang memimpin rapat. Di situ terlihat para Menteri Kabinet, para tokoh sembilan partai; PNI, NU, Parkindo, Murba, Khatolik, PSII, Perti, Partindo, IPKI dan Sekber Golkar.  Nampak pula lengkap seluruh putera-puteri Bung Karno serta Ketua DPR/MPR. Suasana hening.
“Melihat suasana di dalam ruangan itu, saya sempat berdebar-debar. Pasti rapat penting,” ujar Sujarwo.
Menyimak sejenak pembicaraan di dalam ruangan itu, ternyata memang sedang berlangsung rapat penting. Hari itu tanggal 21 Juli 1970. Bung Karno, mantan Presiden Republik Indonesia ke I wafat. Terdengar Presiden Soeharto hati-hati menanyakan kepada seluruh anggota keluarga Bung Karno, bagaimana prosesi pemakaman dan di mana keluarga akan memakamkan Bung Karno? Mbak Megawati, puteri Bung Karno selaku juru bicara keluarga segera menjawab, bahwa seluruh putera-puteri yang mewakili keluarga besar Bung Karno menyerahkan seluruhnya kepada pemerintah, di mana tempat pemakaman serta prosesi pemakaman Bung Karno.
Semua terdiam sejenak. Suasana hening. Kemudian Pak Harto memutuskan; Bung Karno akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan “Bendo Gerit” di Blitar (Jawa Timur), di mana sang ibundanya Idayu Nyoman Rai dimakamkan. Putera-puteri yang hadir dalam rapat pun setuju.  Keputusan bulat, Bung Karno akan dimakamkan di Blitar.
“Keputusan Mbak Mega menyerahkan semua kepada pemerintah adalah keputusan yang bijaksana. Selaku proklamator dan mantan Presiden RI ke I sudah seharusnya menjadi perhatian, kewajiban serta tanggungjawab pemerintah atas prosesi pemakaman Bung Karno,”  kata Sujarwo.
Selepas rapat tersebut, ia dipanggil Menteri Penerangan Boediardjo. Radio Republik Indonesia diminta menyiarkan langsung dari Blitar pada upacara prosesi pemakaman Bung Karno. Esok pagi pukul 05.00 Sujarwo diminta siap di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma untuk mendahului jenazah Bung Karno, menuju Blitar. Keesokan harinya, bersama Menteri Penerangan Budiardjo, ia terbang dengan pesawat udara milik TNI-AU menuju Malang. Kemudian dilanjutkan perjalanan darat menuju Blitar.
“Sepanjang perjalanan dari Malang ke Blitar, saya melihat masyarakat berjajar. Mereka berwajah duka, banyak yang menangis atas kepergian Bung Karno, sang proklamator”, tambahnya.

Pemakaman Bung Karno:Tak Mampu Siaran Langsung

Setibanya di Blitar, ia segera mengamankan seluruh peralatan siarannya. Sebagai seorang veteran — ia pernah menjadi tentara pelajar pada saat perjuangan kemerdekaan RI — memaklumi bahwa saat itu situasi politik  masih rawan, sehingga pedoman RRI, Tri Prasetya tak dilupakannya. Peralatan siaran RRI jangan sampai dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan.
 Ia segera mencari tempat tertinggi untuk bisa memasang antene, alat utama siaran langsung RRI. Ia sendiri harus memanjat  sampai mencapai puncak pohon kelapa tertinggi. Tetapi antene tak berfungsi, ketinggian pohon kelapa itu tak mencukupi untuk mengaktifkan sambungan melakukan siaran langsung yang bisa dipancarkan ke seluruh negeri. Ia pun panik, bagaimana mungkin prosesi pemakaman sang proklamator dan mantan Presiden RI tak bisa disiarkan secara langsung.
 “Ya, akhirnya saya maklum. Blitar kota kecil pada saat itu masih belum maju. Melalui bantuan Stasiun RRI Surabaya pun tetap tidak bisa,” tukasnya. Akhirnya laporan pandangan mata prosesi pemakaman Bung Karno hanya bisa dilakukan melalui siaran tunda.
 Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hati sanubarinya. Selaku reporter  RRI, ia tak mampu menyiarkan langsung prosesi pemakaman itu. Menurutnya, padahal ia sebagai reporter RRI sempat bertugas meliput kegiatan-kegiatan Presiden Soekarno.
“Saya sungguh menyesal. Prinsip saya, manusia bisa salah dan bisa benar tergantung dari sisi mana kita meniliknya. Bung Karno adalah seorang Proklamator dan pernah menjabat Presiden RI pertama. Ini tak bisa dipungkiri sampai kapan pun,” kata Sujarwo, menerawang mengenang pengalaman di Blitar.
Semula Presiden Soeharto hendak menjadi Inspektur Upacara pada pemakaman Bung Karno. Tetapi urung, karena pihak keamanan negara menilai situasi dan kondisi sosial-politik serta keamanan masih rawan. Khususnya di seputar Blitar. Presiden kemudian menugaskan Jendral M. Panggabean yang tatkala itu menjabat selaku Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, menjadi Inspektur Upacara. Upacara pemakaman berjalan lancar dan khidmat, rakyat berjejal-jejal memadati Kota Blitar. Semuanya berkabung, rakyat di seluruh Nusantara menangis, kehilangan sang Proklamator.

 Perjalanan IncoqnitoPak Harto

Satu di antara tak banyak wartawan yang turut-serta dalam perjalanan  inqocnito pertama Pak Harto ke berbagai daerah, adalah Sujarwo. Rekan wartawan lainnya – yang masih diingatnya – adalah Haryo Saputro (Harian Berita Buana), Purnomo dan Willy Karamoy  (TVRI) serta August Parengkuan (Kompas). Sekretaris Militer Presiden, Tjokropranolo dan Pengawal Kapten CPM Eddie Nalapraya juga berada di dalam rombongan. Satu lagi yang diingatnya, Soebiyanto petugas yang mengatur kendaraan rombongan Presiden. Route incoqnito saat itu menempuh perjalanan dari Jakarta menuju Jawa Barat hingga ke Pulau Dewata (Bali). Sepanjang perjalanan tersebut, perhatian Pak Harto ditujukan pada tempat-tempat penimbunan pupuk untuk para petani, pabrik obat-obatan, kondisi lahan pertanian, sistim pengairan, waduk-waduk, pola pertanian, kondisi kehidupan para petani, sistim penjualan gabah/beras petani serta harga gabah/beras para petani. Satu hal yang perlu dicatat, tak satu pejabat pun di setiap tempat yang beliau kunjungi, yang mengetahui kehadiran Pak Harto.
Perjalanan diawali ke Provinsi Jawa Barat, beberapa desa dikunjungi Pak Harto tanpa rasa lelah.  Di provinsi ini Pak Harto antara lain mengunjungi desa-desa di Kabupaten Cianjur, Subang dan Jatibarang. Ketika berada di salah-satu desa di Cianjur, tiba-tiba Sekretaris Militer Presiden, Tjokropranolo menghampirinya.
RRI dipanggil Bapak,” ujar Pak Nolly (demikian panggilan akrab Tjokropranolo), seraya menunjuk ke arah di mana Pak Harto berada. Setengah berlari Sudjarwo menghampiri Pak Harto. Dan ia agak terkejut melihat Pak Harto sedang tergeletak santai di atas dipan terbuat dari bambu, tengadah ke atas di dalam rumah gubuk milik salah seorang Kepala Desa.
“Bagaimana kesan saudara setelah masuk-keluar kampung,” tanya Pak Harto.
“Saya rasa Bapak lebih tahu, dan semuanya sudah saya rekam,”  jawab Sudjarwo.
“Bukan, kesan Anda itu apa?”  desak Pak Harto.
Sujarwo segera mengemukakan, setelah melihat kenyataan para petani maka sebaiknya Undang-Undang Agraria perlu ditinjau kembali. Karena bila Undang-Undang Agraria tidak disempurnakan, akan menjadi lahan empuk untuk dasar kampanye Barisan Tani Indonesia (BTI) – aliansi atau anak organisasi PKI- yang kita semua belum tahu eksistensinya, walaupun PKI telah dibubarkan.
“Pak Harto hanya diam, dan seperti biasa mengangguk-anggukan kepala beliau (manggut-manggut),” jelasnya.
 Entah dari mana informasinya, keesokan paginya ketika Pak Harto sedang berdialog dengan salah seorang petani, muncul Gubernur Jawa Barat Solichin GP. Sesaat setelah berdialog, petani mempersilahkan rombongan Pak Harto untuk singgah dirumahnya. Setiba di rumah petani, Pak Solichin menanyakan, siapa yang sedang berbicara dengan dirinya itu? Petani menjawab, petugas pertanian. Pak Solichin kemudian menunjukkan gambar Presiden Soeharto yang kebetulan dipasang di dinding rumah petani. Dengan perasaan malu, kikuk dan salah-tingkah, petani memohon maaf, karena tidak mengenali wajah Presiden Soeharto.
Dari Jawa Barat incoqnito dilanjutkan ke Jawa Tengah, menuju satu desa di Slawi dan bermalam di rumah salah seorang Lurah. Masyarakat setempat menjadi heboh, Presiden menginap di rumah Lurah dan di kampung itu tak satu pun yang memiliki tempat tidur layak untuk seorang Presiden. Tetapi Pak Harto dengan tenang dan senyumnya, meminta agar tidak perlu memaksakan mencari tempat tidur. Entah dari mana, akhirnya Pak Lurah bisa mendapat pinjaman tempat tidur untuk Pak Harto. Beliau mandi di sumur rumah Pak Lurah, tak ada yang tabu bagi Pak Harto.  Semua dijalani dengan santai dan wajar.
 Di sini rombongan incoqnito kembali dikejutkan dengan kedatangan Gubernur Jawa Tengah Munadi (alm) bersama Panglima Daerah Militer (Pangdam) VII/Diponegoro Kolonel Surono (alm), yang kemudian menikmati makan bersama Pak Harto dengan lauk seadanya yang disiapkan oleh Pak Lurah dan masyarakat disekitarnya.
Dari peninjauan Pak Harto dibuktikan bahwa para petani di desa-desa sekitar Slawi ternyata sudah melaksanakan program Panca Usaha Pertanian, yakni ; bibit unggul, pupuk, irigasi, obat-obatan dan tehnik penggarapan sawah yang baik. Dari Slawi lalu menuju Magelang mengunjungi Candi Borobudur serta beberapa desa disekitarnya. Pak Harto menyempatkan mengelilingi Candi Borobudur, bahkan cukup lama berada di bangunan Stupa-Stupa.
Dari sini menuju ke arah Yogyakarta, berhenti di Desa Tempel kemudian mengunjungi Waduk Gajah Mungkur. Di tempat ini Pak Harto memberikan pengarahan kepada pengurus waduk, karena waduk tersebut bertautan dengan irigasi pertanian di Kabupaten Wonogiri. Waduk Gajah Mungkur ini walaupun musim kemarau tidak pernah kekeringan, air selalu mengalir sempurna. Entah sekarang!
Setelah beberapa desa di Jawa Tengah dikunjungi, Pak Harto menuju Jawa Timur. Di provinsi ini juga mengunjungi beberapa lahan pertanian, di Desa Weringintelu, perhatian Pak Harto tertuju pada keistimewaan desa tersebut, yang melaksanakan “turinisasi”. Penanaman pohon Turi dilakukan di sepanjang pematang sawah, pohon turi ini sangat bermanfaat, serbaguna. Pak Harto berpesan, agar penanaman pohon Turi terus dikembangkan dan bisa dijadikan contoh bagi para petani di desa-desa dan di daerah-daerah lainnya.
Di Gresik, mengunjungi pabrik obat-obatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan usaha pertanian. Beliau mendorong agar pabrik obat-obatan segera mengembangkan produksinya agar para petani bisa melakukan usahanya tanpa kendala. Tetapi yang paling menarik ketika berkunjung di Banyuwangi. Beliau sangat terkesan dengan kesenian khas Banyuwangi yang belum pernah beliau saksikan. Pak Harto sangat menikmati tari-tarian serta alunan musik tradisional Banyuwangi. Dikemudian hari, rombongan kesenian tradisional Banyuwangi itu di undang ke Jakarta dan mendapat kesempatan dipromosikan oleh pemerintah.
Meninggalkan Banyuwangi, missi incoqnito Presiden Soeharto dilanjutkan ke Pulau Dewata (Bali), menyeberangi lautan menggunakan ferry. Perjalanan masih tetap ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat. Di sini Pak Harto meninjau sistim pertanian khas Bali, subak. Beliau saat itu mempunyai pemikiran, bagaimana sistim subak dapat diterapkan di tempat-tempat lainnya. Setelah memenuhi seluruh agenda incoqnito, Pak Harto dan rombongan bermalam di Istana Tampak Siring (Gianyar). Di sini, Ibu Tien Soeharto telah menantikan kedatangan Presiden Soeharto.
Selama meliput kegiatan Presiden Soeharto, ia berulangkali mengikuti perjalanan ke daerah-daerah maupun ke luar negeri. Namun selaku mantan reporter RRI yang telah mulai uzhur, ia menyerahkan kepada rekan-rekan yuniornya untuk menuangkan kisah-kisah pengalamannya yang juga menjadi pengalaman rekan-rekan wartawan/reporter lainnya.\
***

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...