BANYAK
orang terperangah dan kaget ketika Rabu (11/9/2013) sebuah helikopter
TNI AD terbang sangat rendah di tengah Kota Solo. Tidak hanya itu,
helikopter tempur jenis Bell 205 itu mengangkut satu tim prajurit
Kopassus bersenjata, yang berlatih penanggulangan teror dan pembebasan
sandera di kantor BRI Cabang Slamet Riyadi.
Saat bermanuver di
sekitar Mangkubumen, terlihat sekali ketinggian terbang heli hanya
sekitar separuh tinggi gedung Solo Paragon. Setelah memutar, dengan
luwes heli itu melayang diam (hovering) di atas kantor BRI. Dua buah
tali khusus terjulur keluar dari lambung kiri dan kanan heli, yang
digunakan oleh sejumlah prajurit meluncur turun dari ketinggian 20
meter.
Dari pengamatan Soloblitz, kegiatan itu jelas berisiko
tinggi. Prajurit yang meluncur turun, tidak menggunakan sabuk penyelamat
(harness), hanya mengempit tali dengan tangan dan lutut. Dengan beban
tambahan helm kevlar, rompi antipeluru, senapan serbu dan perlengkapan lain, terbayang aktivitas itu cukup sulit dan berbahaya, lepas dari tali berarti terhempas bebas ke tanah.
“Harness membuat gerakan lambat, meski aman. Prajurit butuh bergerak
cepat dan menghabisi musuh sebelum dihabisi. Yang kami gunakan itu tali
khusus untuk fast rope, lebih besar dan lunak dibanding tali untuk turun
tebing yang biasa. Jadi saat dipakai merosot tidak panas di tangan,
bahannya dari sutera,” ujar seorang perwira TNI yang enggan dikutip
namanya.
Aktivitas di tengah kota itu, tak bisa dihindari,
menjadi tontonan masyarakat. Sempat terdengar pula cetusan beberapa
nasabah bank yang merasa was was. “Wah, kok latihan pakai senjata di
tengah kota gini, kalau ada yang kena peluru nyasar, gimana?” ujar
seorang perempuan sepuh yang buru-buru meninggalkan bank.
Faktanya, dalam latihan di BRI siang tadi, tidak sekali pun terdengar
suara tembakan. Namun, Kopassus tampaknya telah memperhitungkan semua
risiko dengan baik. Semua ujung laras senjata dalam latihan itu tampak
ditutup dengan sumbat khusus warna merah, pertanda senjata-senjata itu
hanya diisi peluru hampa yang tidak berbahaya, karena tanpa proyektil
(anak peluru).
Komandan Detasemen Markas Grup 2 Kopassus, Mayor
Inf Richard Arnold Sangari yang berada di lokasi latihan memaparkan
kepada wartawan, tidak ada niat lain bagi prajurit baret merah selain
untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan.
Soal risiko, semua
orang pasti tahu, tidak ada aktivitas militer yang benar-benar aman.
Justru dengan latihan yang dekat dengan situasi kondisi medan
sesungguhnya, kemampuan prajurit bisa terjaga dan setiap risiko
kegagalan tugas bisa dijauhkan. Karena tidak ada prajurit yang terlatih,
yang ada hanyalah prajurit yang selalu berlatih agar dia tidak gagal
saat kemampuannya diperlukan