Presiden SBY memberikan orasi lugas di hadapan civitas akademika dan
Rektor Universitas Utara Malaysia yang sekaligus juga Raja Malaysia di
Kuala Lumpur ketika menerima gelar Doktor HC tanggal 19 Desember 2012.
Beliau mengatakan tidak ada jaminan tidak ada perang di kawasan ASEAN di
masa mendatang. Ini merupakan statemen yang memiliki nilai diplomasi
tinggi. Pernyataan ini sekaligus kuat pesannya untuk mengantisipasi
prakiraan cuaca kawasan yang bisa saja memburuk akibat konflik
perbatasan darat dan laut di kawasan ini.
Bargaining untuk
mengedepankan peran diplomasi high profile yang sewaktu-waktu diperlukan
ukurannya adalah memiliki kekuatan militer yang disegani setidaknya
untuk ukuran kawasan Asia Tenggara. Jalan ke arah itu sedang dijalani.
Sampai tahun 2014 dengan kedatangan gelombang alutsista untuk mengisi
persenjataan kesatrian TNI, meski sejatinya baru dalam tahap memulihkan
kekurangan gizi alutsista setelah sekian lama berpuasa dan hanya
menikmati sajian alutsista tua yang jumlahnya terbatas.
Titik
tumpu menuju kekuatan gahar itu ada di ruang lima tahun berikutnya
setelah tahun 2014. Di ruang waktu itu jika kita konsisten dengan
rencana strategis untuk memperkuat militer, disitulah kita mulai
berhitung dengan menghadirkan kekuatan alutsista untuk menambah daya
gempur yang lebih bergetar. Di ruang waktu itu sudah pasti akan ada
penambahan minimal 3 kapal selam baru hasil dari kesepakatan dagang dan
magang tahun 2012 antara Korsel dan RI. Dengan asumsi kapal selam ketiga
selesai tahun 2017 diharapkan PT PAL dengan supervisi Korsel mampu
membuat 2 kapal selam lagi sehingga tahun 2019 ada 5 kapal selam baru.
Pertanyaannya
untuk apa sih kita memperkuat alutsista militer kita. Jawabnya adalah
untuk mencermati situasi kawasan yang dinamis dengan berbagai konflik
teritorial. Perkuatan militer RI menuju kekuatan nomor satu ASEAN atau
setidaknya setara dengan negara ASEAN yang lain misalnya Singapura dan
Thailand adalah dalam upaya menggagahkan diri untuk tampil percaya diri
dalam setiap urusan diplomasi dengan sedikit menggeretakkan geraham.
Cara ini tentu bisa dilakukan jika background kekuatan militer ada di
belakangnya. Bukan bermaksud untuk mengajak berkelahi tetapi bukankah
setiap urusan sengketa tapal batas bisa diselesaikan dengan dialog
kesetaraan.
Persinggungan teritorial dengan Malaysia misalnya,
mestinya bisa diselesaikan dengan cara diskusi dan perundingan walaupun
serialnya bisa mencapai 1000 kali diskusi. Tak mengapa asal suasananya
dengan sikap bertetangga yang baik. Blunder Angkatan Laut Malaysia di
Ambalat adalah melakukan show of force, lalu menangkap pekerja Mercu
Suar Karang Unarang sambil memukulinya. Ini yang memicu kemarahan
militer Indonesia termasuk Presiden SBY yang langsung datang ke wilayah
itu dengan kawalan kapal perang. Kehadiran seorang Kepala Negara ke
kawasan sengketa membawa pesan diplomatik yang kuat, jangan bermain api
dengan kami.
Mengapa Malaysia melakukan itu, karena dia merasa
sudah lebih kuat militernya dari Indonesia. Inilah poin penting yang
kemudian menjadi pemicu bangunnya macan tidur bersama kemarahan rakyat
Indonesia. Pelajaran dari mata kuliah Ambalat adalah ternyata dia
bukanlah tetangga yang baik, dia bukanlah jiran yang ramah, menggunting
dalam lipatan. Padahal selama tiga puluh tahun lebih cara gaul yang
diperlihatkan RI selalu mengedepankan ruang harmoni dan tutur sapa
diplomatik yang santun dan hangat. Kasus terakhir adalah tulisan seorang
mantan menteri Malaysia yang menghina Habibie dan Gus Dur untuk
komoditi kampanye UMNO di pilihan raya Malaysia tahun 2013 ini.
Dengan
Australia, sikap yang ditunjukkan padanya sebaiknya adalah bergaul
dengan bahasa santun tetapi tidak dalam rangka mudah mendikte kita atau
tidak mudah bersepakat sesuai hasrat dia. Begitu hasrat itu sudah ganti
warna, dia tinggalkan kita. Contohnya ketika Timor Timur hendak dikuasai
ideologi kiri pada era perang dingin dulu, Australia dan AS setuju
dengan pengerahan militer RI yang nota bene ongkos militernya ditanggung
sendiri oleh RI. Tetapi setelah perang dingin usai, negeri Kanguru itu
balik kanan lalu melakukan manuver “serangan balik” hendak melepaskan
Timtim dari NKRI dengan alasan HAM dan keinginan masyarakat setempat.
Untuk
masalah Papua sejatinya Australia bermuka dua terhadap kita. Di satu
sisi mereka berikrar bahwa Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari
RI tetapi di sisi lain juga dengan alasan HAM dan kehendak rakyat Papua,
Australia memberikan ruang ambigu dalam cara bergaul dengan RI. Negeri
yang dijuluki Samuel P. Huntington sebagai negara asing di kawasan Asia,
a torn country, geoculturally torn country, selalu merasa asing di
lingkungannya, membuat dia merasa tidak nyaman dengan lingkungannya.
Ketidaknyamanannya itu memberikan rasa gerah pada dirinya lalu dengan
gaya kultur Barat yang selalu merasa lebih dominan, pintar dan cerdas.
And then mendikte tetangganya yang nota bene selalu menampilkan cara
gaul yang low profile, sebagaimana kultur Asia Timur Tenggara pada
umumnya.
Keputusan Kemhan dan Mabes TNI untuk memagari Papua dan
Indonesia Timur dengan menggelar secara bertahap 15.000 Marinir
merupakan “serangan balasan” terhadap arogansi Australia yang secara
sepihak bersedia menerima kedatangan 5.000 Marinir AS di Darwin. Jelas
sepihak karena dilakukan tanpa mengajak diskusi terlebih dahulu pada
tetangganya. Menlu Marty sempat melontarkan “kemarahan diplomatik” atas
kepongahan Australia yang paranoid itu.
Jawaban dengan cara
pandang militer diniscayakan menjadi jalan gentar yang lebih bergema.
Maka rencana menempatkan secara permanen 1 divisi pasukan Marinir di
Papua adalah langkah tepat untuk menunjukkan pada tetangga kulit putih
itu bahwa kita bisa melakukan strategi militer secara mandiri dan
terukur. Tidak pakai sekutu-sekutuan sebagaimana model keroyokan yang
dilakukan oleh AS dan Australia terhadap musuh politik hegemoninya.
Papua adalah bagian tulang dan daging NKRI yang tak terpisahkan. RI
berhak melakukan kawalan militer terhadap seluruh wilayah teritorinya
termasuk Papua. Apakah kita pernah meributkan ketika Aborigin
menyampaikan unjuk rasa kekecewaannya pada Pemerintah Australia. Lha
mengapa dia mesti repot-repot menjadi pahlawan kesiangan ngurusin soal
Papua.
Mencermati dinamika perkembangan kawasan di sekeliling
kita salah satu upaya yang dilakukan adalah memperkuat “infrastruktur”
militer. Oleh sebab itu upaya Pemerintah bersama DPR yang seia sekata
untuk membangun alutsista TNI harus terus kita kawal dan kumandangkan.
Perkuatan militer adalah untuk menambah bobot kewibawaan dalam setiap
diplomasi disamping memagari teritori dari setiap upaya untuk mengganggu
apalagi melecehkannya. Sudah saatnya kita menampilkan kewibawaan
diplomasi dengan kekuatan tawar yang minimal setara. Bobot kekuatan
tawar itu ada pada kekuatan militer. Sekali lagi bukan untuk mengajak
berkelahi melainkan sebagai bagian dari kelengkapan postur diri yang
tegap berwibawa tetapi tetap santun dalam bersikap dan bertutur sapa.
Bukankah selama ini kami tidak pernah memulai perkara. Makanya jika anda
ramah kami hormat, anda marah kami lumat.