Tindak lanjut proses dugaan pelanggaran kode etik 14 anggota Brimob,
yang menganiaya 14 warga sipil di Poso, terkesan diperlambat. Bahkan ada
kesan pihak kepolisian enggan mengakui pelanggaran anggota polisi di
lapangan.
Penegasan itu disampaikan Direktur The
Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, kepada
itoday (04/01) menanggapi pernyataan Kapolres Poso AKBP Eko Santoso
soal kelengkapan saksi yang diperlukan dalam pengusutan pelanggaran kode
etik 14 anggota Brimob.
Kapolres Poso, menyatakan,
proses dugaan pelanggaran kode etik 14 Brimob harus menunggu kelengkapan
saksi sebanyak 14 orang. "Ini aneh dan terkesan enggan mengakui
pelanggaran anggotanya yang di lapangan. Apa saksi sembilan orang tidak
cukup untuk memproses pelanggaran itu? Mengapa harus nunggu lima saksi
lainnya," tegas Harits.
Menurut Harist, saksi yang
babak belur setelah keluar dari Polres Poso sudah cukup untuk menjadi
bukti, bahwa aparat Brimob telah melakukan penganiayaan terhadap warga
sipil di Poso. "Syarifudin, seorang guru SMPN I Kalora-Poso yang babak
belur setelah keluar dari Polres apa masih tidak cukup untuk dijadikan
bukti aduan atas tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh aparat
Brimob?" kata Harist.
Harist mengingatkan, pola
tindakan aparat kepolisian yang membabi buta dan main tangkap, akan
melahirkan kebencian dan dendam baru masyarakat terhadap aparat. "
Pengerahan pasukan Brimob plus Densus 88 dalam jumlah yang besar, untuk
kemudian main tangkap orang hanya karena sangkaan ikut pengajian terduga
teroris, tidak akan melahirkan solusi," ungkap Harist.
Lebih
jauh, Harits meminta aparat kepolisian harus serius mengedepankan
humanisme untuk mereduksi kekerasan. "Jika itu tidak dilakukan, justru
akan melahirkan siklus kekerasan yang tidak berujung. Sekalipun punya
kewenangan dalam penegakan hukum, bukan berarti polisi boleh arogan atas
nama hukum dan menjungkirbalikkan hukum menurut selera aparat di
lapangan," pungkas Harits.
Diberitakan sebelumnya,
pihak Propam Polda Sulawesi Tengah mengaku telah memeriksa 14 anggota
Brimob terkait dugaan penganiayaan terhadap warga Kabupaten Poso. Warga
sipil yang mengalami penganiayaan itu berasal dari Desa Kalora. Warga
ditangkap polisi setelah terjadi penembakan enam anggota Brimob Polda
Sulawesi Tengah pada 20 Desember 2012.